GORONTALO (Akulturasipost.com) – Keputusan Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGO) menonaktifkan sementara salah satu dosennya memicu reaksi keras dari sejumlah kalangan.
Kebijakan tersebut dinilai terburu-buru dan mencederai prinsip keadilan dalam dunia pendidikan.
Salah satu suara kritis datang dari Rizal Agu, Ketua DPC GMNI Kabupaten Gorontalo, yang menyebut langkah kampus sebagai bentuk ketidakadilan atau bahkan “kezaliman” terhadap tenaga pendidik.
Menurut Rizal, penonaktifan dosen tanpa proses sidang kode etik maupun kesempatan membela diri adalah pelanggaran terhadap asas keadilan, transparansi, dan profesionalitas akademik.
“Ini bentuk kezaliman ketika seseorang yang menyuarakan kebenaran justru ditekan bahkan dinonaktifkan. Jika dosen saja bisa diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan mahasiswa? Tindakan semacam ini bisa menimbulkan ketakutan dan merusak kepercayaan publik terhadap kampus,” ujar Rizal, Ketua DPC GMNI Kabupaten Gorontalo.
Rizal juga mendesak Rektor UMGO untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Ia menilai langkah itu tidak sesuai prosedur yang berlaku karena diambil tanpa melalui mekanisme resmi seperti sidang kode etik dan tanpa pemberian hak jawab kepada dosen yang bersangkutan.
“Saya minta Rektor meninjau kembali keputusan ini. Masa dosen dinonaktifkan tanpa sidang kode etik, bahkan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. SK penonaktifan pun banyak kejanggalan,” tegasnya.
Sebagai Ketua DPC GMNI Kabupaten Gorontalo, Rizal menegaskan dirinya akan terus mengawal persoalan tersebut hingga mendapat kejelasan. Ia bahkan berencana melaporkan kasus itu ke Komisi IV DPRD Kabupaten Gorontalo untuk memastikan keadilan ditegakkan.
“Saya akan membawa masalah ini ke DPRD agar ada titik terang. Dosen tersebut jelas diperlakukan tidak adil,” ujarnya.
Lebih jauh, Rizal mendesak pihak rektorat agar memberikan klarifikasi terbuka kepada publik mengenai dasar hukum dan alasan penonaktifan dosen dimaksud. Ia menilai langkah sepihak ini berpotensi menimbulkan preseden buruk terhadap kebebasan akademik dan reputasi UMGO.
“Rektor harus berani menjelaskan secara terbuka apa dasar penonaktifan itu. Mengapa dosen yang membela mahasiswa justru disanksi? Apakah membela kebenaran kini dianggap pelanggaran?” pungkasnya.
Sebelumnya, dosen UMGO Fira Makmur dikabarkan dinonaktifkan setelah memberikan ruang bagi mahasiswi berinisial HP yang merasa mendapat tekanan dari pihak kampus.
HP sempat menceritakan perasaannya melalui sebuah podcast di kanal YouTube milik Fira.
“Saya hanya ingin memberi ruang bagi mereka yang ingin berbicara melawan ketidakadilan,” kata Fira, dikutip dari Dulohupa.id pada Jumat (17/10/2025).
Hingga kini, kasus tersebut masih menjadi topik hangat di lingkungan civitas akademika dan masyarakat Gorontalo.







